Project Power dan Proyek Massal Netflix?

Film Project Power (2020) yang disutradarai oleh Henry Joost & Ariel Schulman adalah film aksi dengan bumbu fiksi ilmiah yang memiliki premis menarik. Tidak seperti film superhero kebanyakan, di sini kekuatan super diperoleh dari obat hasil penelitian. Sebuah pil eksperimen mampu membuat orang yang menelannya memiliki kekuatan super meski selama 5 menit saja. Premis ini mengingatkan kita pada film Limitless (2011) dan Lucy (2014). Dengan adanya beberapa karakter yang memiliki kekuatan super berbeda-beda, boleh dibilang ini adalah versi ringan dari semesta X-Men.

Dikisahkan bahwa Frank (Joseph Gordon-Levitt), seorang polisi baik di New Orleans, rupanya telah beberapa kali memakai pil super itu. Memang itu membantu pekerjaannya karena efek super yang muncul adalah kulit antipeluru. Dia mendapat pil ilegal itu dari remaja perempuan kulit hitam sekaligus pengedar bernama Robin (Dominique Fishback). Frank pun harus menelusuri bandar dan produsen pil tersebut. Pada akhirnya dia harus bekerja sama dengan Art (Jamie Foxx) yang juga memburu produsen pil karena telah menculik anaknya, dengan bantuan Robin. Art juga pernah memakai pil super dan kekuatannya sangat mengejutkan. Sepanjang perjalanan mereka bertemu aneka “mutan dadakan” yang menghalangi mereka. Dan memang pamer bermacam-macam kekuatan super inilah yang menjadi daya tarik utama Project Power.

Saya perhatikan ada karakter yang memiliki kekuatan super seperti Fantastic Four. Ada Human Torch (tapi dibekap pakai jaket basah aja kalah), Mister Fantastic (tidak terlalu elastis tapi tulang sendinya sangat fleksibel), Susan Storm (lebih tepatnya seperti bunglon transparan), dan The Thing (meski tidak berubah fisik seperti batu). Ada juga kekuatan seperti Hulk, Jean Grey/Phoenix, Wolverine, dan Elza (ya, Elza Frozen!). Jenis kekuatan manusia super sepertinya memang berputar-putar di situ saja.

Ada satu shot panjang 80 detik saat si Elza Frozen mengalami proses membeku, sementara keadaan sekitarnya begitu chaos. Dan menurut saya motivasi shot itu kurang jelas. Mungkin memang sekadar gimik.

Cerita yang berlokasi di New Orleans sekaligus dibumbui sentilan isu sosial di sana. Salah satunya sindiran terhadap aparat berseragam yang tunduk pada kekuatan yang lebih besar. Isu kemiskinan dan sistem pendidikan yang tidak cocok pun membuat Robin harus mengambil jalan kriminal. Meski karakter Robin sendiri cukup membingungkan. Kadang terlihat masih kekanakan, tapi bisa menjahit luka, mengendarai motor besar, sampai mengoperasikan mesin. Art sendiri mengatakan bahwa “power” Robin sebenarnya adalah kemampuan menulis rap. Dengan kekuatan itu dia bisa melawan sistem yang selalu merugikan kaum wanita kulit hitam seperti dirinya.

Dari rentetan film superhero yang akan terus muncul tanpa henti, film ini bisa ditonton sebagai alternatif seru-seruan saja. Akting ketiga pemain utamanya pun biasa saja. Jamie Foxx tetap seperti Jamie Foxx di film-film kriminal-jagoan seperti Miami Vice, Django Unchained, dan Baby Driver. Joseph Gordon-Levitt pun seperti saat dia jadi polisi di The Dark Knight Rises.

Dengan premis “Limitless” bertemu “X-Men” selama 5 menit, film ini memang berpotensi ramai dan megah. Tapi bujet tanggung tampak kurang mendukung. Kemunculan kekuatan super yang sekejap-sekejap sangat kurang memuaskan. Apakah ini memang bagian dari proyek masal Netflix? Sebuah taman hiburan baru?

*menghilang*

Dua setengah bintang.

Diterbitkan oleh

sinemalogi

gemar sinema untuk masa depan kita

Tinggalkan komentar