Membangun Rintisan dari Garasi

Peran sebuah garasi dalam sebuah perusahaan rintisan kadang tidak main-main. Contoh paling legendaris tentu saja ketika Steve Jobs dan Steve Wozniak yang memulai Apple Computer di tahun 1976 dari garasi. Juga Larry Page dan Sergey Brin yang memulai Google di bulan September 1998 dari sebuah garasi di Silicon Valley. Dua contoh sukses itu bisa menjadi katalis bagi anak-anak muda yang ingin membuat rintisan, tidak harus di bidang teknologi. Garasi pada dasarnya lebih dari sekadar tempat. Garasi adalah semangat. Itulah yang dirasakan tiga anak muda, Aga (Fedi Nuril), Gaia (Ayu Ratna), dan Awan (Aris Budiman), yang hendak membentuk rintisan musik. Ya, sebuah band.

Seperti rintisan pada umumnya, tiga darah muda itu memang cocok memenuhi syarat untuk disatukan. Masing-masing memiliki keahlian spesifik yang berbeda. Tiap pribadi juga berkepribadian menonjol. Aga cenderung perfeksionis dan secara natural menjadi pemimpin. Gaia adalah seorang idealis dan selalu totalitas memfokuskan semua pada tujuan mereka, yaitu musik. Sedangkan Awan, meski terlihat main-main dan kekanakan, dialah perekat mereka, sekaligus berperan penting dalam ketersediaan kapital.

Proses rintisan mereka juga seperti perusahaan rintisan lainnya. Dimulai dari bootstrapping dengan modal peralatan masing-masing, membuat demo rekaman, dan sebagainya. Lalu semakin maju ketika mendapat seed funding dari pihak yang melihat potensial mereka. Sosok Angel Investor tersebut adalah trio D’lawas (Desta, Arie Dagienkz, David Tarigan) yang menjunjung tinggi para penggemar musik sejati—lebih tepatnya yang pengetahuan tentang musik mendekati kaleidoskopis sih. Setelah melebarkan sayap dan mulai dikenal, konflik eksternal dan internal pun meruncing.

Cerita dalam film Garasi (2006) karya Agung Sentausa ini memang formulaik. Skenario yang ditulis Prima Rusdi juga terkesan banyak yang disederhanakan. Nama band? Garasi. Kelab tempat mereka tampil? Klub Indie. Toko musik yang menjual mayoritas album-album lama? D’lawas. Tabloid seputar gosip musik? GoMus. Tapi kebersahajaan itu juga menjadi poin lebih karena nama-nama itu mudah diingat dan tetap melekat. Moral kompas yang dipakai sebagai konflik masih terlihat seksi tahun 2006, yaitu seputar anak haram. Kalau zaman sekarang mungkin orang-orang sudah bersikap bodo amat.

Lagu-lagu di film ini cukup ciamik dan jadi hit di tahun itu. Film Garasi juga menunjukkan ke penonton kalau lagu-lagu jadul itu juga keren. Indonesia Maharddhika karya Guruh dan Kompor Meleduk dari Benyamin S pun diperdengarkan. Keduanya masuk dalam 150 Lagu Indonesia Terbaik versi majalah Rolling Stone Indonesia. Tak heran karena sosok almarhum Denny Sakrie dan David Tarigan bermain di sini. Album legendaris Guruh Gipsy yang jadi rebutan Aga dan Gaia juga termasuk 150 Album Indonesia Terbaik. Di bagian akhir film, seperti Guruh Gipsy yang berkolaborasi dengan musik Bali, band Garasi pun tampil diiringi musik etnik, maka sempurnalah lingkaran itu.

Saya sendiri pada tahun itu masih gandrung dengan film Almost Famous karya Cameron Crowe dan High Fidelity yang dibintangi John Cusack. Serta belum lama juga Bandung menyelenggarakan Dago Festival yang legendaris itu. Jadi film ini sekaligus membangkitkan nostalgia seputar Bandung. Masa ketika naik angkot masih nyaman, jalan Braga masih diaspal, serta menghabiskan waktu senja dengan melihat rangkaian kereta api keluar masuk Stasiun Hall dari jembatan penyeberangan orang dekat Pasar Baru, dan tentu saja mendengarkan mp3 Garasi di Winamp.

Sayangnya di luar film, band Garasi sendiri hanya mampu menelurkan dua album. Seperti banyak perusahaan rintisan lain, proyek ini pun berhenti. Tapi film Garasi sendiri akan tetap menjadi nilam tersembunyi di dalam katalog Miles Film.

Diterbitkan oleh

sinemalogi

gemar sinema untuk masa depan kita

Tinggalkan komentar